Menu

Senin, 03 April 2017

Makna Ramadhan Bulan Diturunkanya Al Quran

Makna Ramadhan Bulan Diturunkanya Al Quran

Tafsir Surat Al Baqarah 185
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.( Al Baqarah 185)
Bulan Diturunkanya Al QuranSahabat dunia islam, Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia yang diwajibkan untuk kita umat islam agar melakukan puasa seperti yang di jelaskan pada artikel yang lalu tentang Hukum Puasa Ramadhan Bagi Kaum Muslimin
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.( Surat Al Baqarah : 183)
Melanjutkan ayat selanjutnya yaitu Surat Al Baqarah 184 yaitu membahas tentang ketika seorang muslim yang belum bisa menjalankan ibadah puasa karena hal yang menghalangi orang tersebut menjalankan puasa seperti orang yang dalam perjalanan, orang sakit , orang yang sedang mengandung atau menyusui. Tentu Dengan syarat2 yang di tentukan tentunya. ( Baca juga : Bagaimana Kewajiban Ibu Hamil Dan Menyusui, Qadha Atau Membayar Fidyah? )
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(Surat Al Baqarah 184)”
Sahabat dunia islam, pada kesempatan ini kita akan membahas tentang makna Ramadhan Bulan diturunkanya Al Quran. Dalam pembahasan Tafsir Surat Al Baqarah 185, Mari kita melihat Ayat tentang diturunanya Al Qur’an di bulan Ramadhan.
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an
Sebagaimana ayat lain:
إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadar” (QS. Al Qadr: 1)
Juga firman Allah Ta’ala:
إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
Sesungguhnya kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam yang penuh keberkahan” (QS. Ad Dukhan: 3)
Imam Ibnu Katsir memaparkan, “Allah Ta’ala memuji bulan Ramadhan diantara bulan-bulan lainnya. Yaitu dengan memilihnya sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an Al Azhim” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/501)
Bahkan selain Al Qur’an, Ramadhan juga adalah bulan diturunkannya kitab-kitab Allah sebelumnya. Imam Ibnu Katsir membawakan dalil akan hal ini, yaitu sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ
Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan. Taurat diturunkan pada hari ke malam ke 7 bulan Ramadhan. Injil diturunkan pada malam ke-14 Ramadhan. Sedangkan Al Qur’an diturunkan pada malam ke-25 bulan Ramadhan” (dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1575)
Imam Ath Thabari membawakan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa maksud dari ‘kami turunkan ia (Al Qur’an) di malam lailatul qadr‘ adalah: Al Qur’an diturunkan di malam lailatul qadar dari lauhul mahfudz ke langit dunia. Sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu :
أنزل القرآنُ كله جملةً واحدةً في ليلة القدر في رمضان، إلى السماء الدنيا، فكان الله إذا أراد أن يحدث في الأرض شَيئًا أنزله منه، حتى جمعه
“Al Qur’an diturunkan sekaligus di malam lailatul qadar pada bulan Ramadhan, ke langit dunia. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu ke dunia, ia (Al Qur’an) diturunkan dari langit dunia (bagian demi bagian) hingga akhirnya dikumpulkan” (Tafsir Ath Thabari, no. 2818)
Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu juga berkata:
أنزل الله القرآن إلى السماء الدنيا في ليلة القدر، فكان الله إذا أراد أن يُوحِيَ منه شيئًا أوحاه
“Allah menurunkan Al Qur’an ke langit dunia di malam lailatul qadar. Lalu setelah itu jika Allah ingin memfirmankan sesuatu, Ia mewahyukannya” (Tafsir Ath Thabari, no. 2816)
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Ini adalah pujian Allah terhadap Al Qur’an, bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi para hamba yang beriman kepada Al Qur’an, membenarkan serta mengikuti tuntunan Al Qur’an. Sedangkan بَيِّنَاتٍ /bayyinaat/ artinya sebagai dalil dan hujjah yang jelas, terang dan gamblang bagi orang yang memahami dan mentadabburinya, sehingga menunjukkan bahwa Al Qur’an itu benar-benar sebuah petunjuk yang menafikan kesesatan dan sebuah pedoman yang menafikan penyimpangan. Al Qur’an juga diturunkan sebagai pembeda antara haq dan batil, antara halal dan haram” (Tafsir Ibni Katsir, 1/502)
Ayat ini juga dalil bahwa Al Qur’an adalah landasar hukum Islam dan ia diturunkan kepada semua manusia, mencakup muslim ataupun bukan, sebagaimana Islam. Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin berkata: “Al Qur’an adalah landasan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus bersamanya kepada seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS. Al Furqaan: 1) ”
Oleh karena itu, orang yang sudah mendengar Islam namun tidak menerimanya ia tidak bisa berkilah di hari kiamat kelak. Karena Allah telah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk kebenaran dan nadziir (peringatan). Al Jashash berkata: ‘Ayat ini (Al Baqarah 185) adalah bukti akan kebatilan madzhab mujabbirah yang berpandangan bahwa Allah tidak memberikan petunjuk pada orang kafir. Karena dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwa Ia menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi semua mukallaf‘ (Ahkamul Qur’an, 1/222)
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
Dalam Tafsir Jalalain (1/38) dijelaskan bahwa makna شَهِدَ /syahida/ di sini adalah حَضَرَ /hadhara/ artinya tidak sedang bersafar. Ibnu Katsir menerangkan bahwa makna شَهِدَ adalah melihat istihlal (munculnya hilal) di bulan itu, dan ia orang yang muqim (tidak sedang safar) ketika memasuki bulan itu, dan badannya sehat (Tafsir Ibni Katsir, 1/503). الشَّهْرَ /asy syahra/ di sini merupakan zharf zaman atau keterangan waktu, sehingga yang dimaksud adalah orang yang tidak bersafar dan sehat ketika bulan Ramadhan. Lalu di sini digunakan kata perintah فَلْيَصُمْ /falyashum/ dan kaidah fiqhiyyah mengatakan bahwa ‘hukum asal dari perintah adalah wajib‘. Sehingga ayat ini adalah dalil wajibnya berpuasa bagi orang yang tidak sedang bersafar dan sehat.
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain
Jika lafazh sebelumnya menjelaskan hukum puasa bagi yang tidak bersafar dan dalam kondisi sehat, maka lafazh ini menjelaskan tentang hukum puasa bagi orang yang bersafar atau sakit. Ibnu Katsir menjelaskan, “maksudnya barangsiapa yang menderita sakit hingga membahayakan dirinya jika puasa, atau minimal bisa memberikan gangguan, atau yang sedang bersafar maka mereka boleh tidak berpuasa. Jika mereka tidak berpuasa, mereka wajib menggantinya di hari-hari yang lain” (Tafsir Ibni Katsir, 1/503).
Orang yang sakit, tidak lepas dari tiga keadaan:
  • Sakitnya ringan dan puasa tidak memberikan banyak pengaruh. Maka haram hukumnya meninggalkan puasa.
  • Sakitnya tidak berat, namun dengan berpuasa akan memberikan kesulitan atau kesusahan. Maka makruh hukumnya berpuasa, dan dianjurkan untuk tidak berpuasa.
  • Sakitnya berat, akan membahayakan dirinya jika puasa. Maka haram hukumnya berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/341)
Safar, umumnya dipenuhi kesusahan dan kelelahan, terutama di masa itu. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ
Safar adalah sepotong adzab” (HR. Bukhari 1804, Muslim 1927)
Oleh karena itu Ar Rahman memberikan kemudahan kepada hambanya yang bersabar untuk tidak berpuasa. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai apakah musafir lebih utama berpuasa atau tidak? Pendapat yang kuat, hukumnya dipandang menurut keadaannya:
  • Jika seorang musafir berpuasa atau tidak, tidak jauh berbeda keadaannya. Maka lebih utama berpuasa, walaupun tetap boleh tidak berpuasa. Karena dahulu sebagian sahabat ada yang berpuasa ketika safar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan beliau tidak melarangnya. Selain itu dengan berpuasa di bulan Ramadhan, berarti lebih cepat menunaikan kewajiban dari pada ditunda di luar Ramadhan. Selain itu dapat menjalankan puasa bersama banyak orang, dari pada di luar Ramadhan.
  • Jika puasa dimungkinkan memberikan kesulitan pada dirinya, maka dianjurkan tidak berpuasa
  • Jika puasa dipastikan memberikan kesulitan besar pada dirinya, maka haram berpuasa ketika itu (Lihat Syarhul Mumthi’, 6/344)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
Bolehnya musafir dan orang sakit untuk tidak berpuasa adalah bukti bahwa Allah memberikan kemudahan kepada hamba-Nya dalam syariat-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira” (HR. Bukhari no.39)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan makna hadits tersebut, “Maksudnya, agama Islam itu ringan dan mudah, baik dalam aqidah, akhlak, amal-amal ibadah, perintah dan larangannya… semuanya ringan dan mudah. Setiap mukallaf akan merasa mampu melaksanakannya, tanpa kesulitan dan tanpa merasa terbebani. Aqidah Islam itu ringan, akan diterima oleh akan sehat dan fitrah yang lurus. Kewajiban-kewajiban dalam Islam juga perkara yang sangat mudah” (Bahjah Qulub Al Abrar, 1/106)
Semua hukum syariat baik hal-hal yang wajib, sunnah, makruh ataupun haram pasti mudah, karena tidak melebihi batas kemampuan manusia. Allah Ta’ala berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286)
Bahkan, aturan syariat yang mudah inipun ketika dalam suatu keadaan seseorang mengalami kesulitan yang besar dalam melaksanakannya, maka berlaku kaidah:
المشقة تجلب التيسير
Adanya kesulitan menyebabkan timbulnya kemudahan
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan: “Dengan semua kemudahan dalam hukum-hukum Islam ini, jika seseorang mengalami hal yang tidak biasa, yang menyebabkan dia tidak mampu atau sangat tersulitkan dalam menjalankannya, ia diberikan keringanan yang disesuaikan dengan keadaannya” (Qawa’id Wal Ushul Al-Jami’ah, 1/50)
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
Lafazh ini masih membahas tentang kewajiban qadha bagi orang sakit dan musafir, yaitu mereka diwajibkan mengganti di hari lain sampai sempurna jumlah hari puasanya menjadi 1 bulan. Ath Thabari membawakan riwayat dari Ad Dhahak bahwa beliau mengatakan: “(maksud الْعِدَّةَ /al ‘iddah/ bilangan di sini) adalah bilangan hari ketika musafir dan orang sakit tidak berpuasa” (Tafsir Ath Thabari, 3/477)
Syaikh As Sa’di memiliki penjelasan bagus: “Wallahu’alam, maksud ayat ini, yaitu dimungkinkan muncul suatu keraguan bahwa (dengan adanya kebolehan berbuka bagi musafir dan orang sakit) tujuan dari puasa hanya didapatkan oleh sebagian orang. Maka ayat ini menjawab keraguan tersebut, yaitu mereka diperintahkan untuk menyempurnakan bilangan harinya” (Tafsir As Sa’di, 1/86)
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu
Makna ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah “hendaknya kalian berdzikir kepada Allah setelah menyelesaikan ibadah kalian”. Beliau juga menjelaskan, “Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini tentang disyari’atkannya takbiran ketika hendak shalat idul fitri” (Tafsir Ibni Katsir, 1/505).
Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Al Kuwatiyyah (13/213) dijelaskan: “Mayoritas fuqaha berpendapat dianjurkannya takbiran ketika Idul Fitri dengan suara jahr, mereka berdalil dengan ayat وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ Ibnu Abbas berkata, ayat ini turun berkaitan dengan Idul Fitri karena terdapat athaf terhadap firman Allah وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ Adapun lafadz yang ini maksudnya adalah menyempurnakan hitungan hari puasa Ramadhan”.
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
supaya kamu bersyukur
Ibnu Katsir menjelaskan maknanya, “Yaitu jika anda telah menegakkan perintah Allah dengan menunaikan ketaataan-ketaatan dan kewajiban-kewajiban, meninggalkan yang haram, menjaga batasan-batasan agama, maka semoga anda termasuk dalam golongan orang yang bersyukur” (Tafsir Ibni Katsir, 1/505).
Allah Ta’ala telah memberi manusia nikmat yang berlimpah, yang tidak bisa kita hitung banyaknya. Bahkan orang yang merasa paling menderita di dunia pun tidak akan bisa menghitung nikmat Allah kepadanya. Lalu, salah satu bentuk dan bukti rasa syukur seseorang atas nikmat-nikmat tersebut, adalah dengan menjalankan berbagai ketaatan terutama hal-hal yang diwajibkan baginya. Sebagaimana apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa shalat malam hingga kakinya bengkak. ‘Aisyah pun lalu bertanya, mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulullah? Bukankah Allah telah mengampuni dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Beliau menjawab: ‘Bukankah aku akan bahagia jika menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?’” (HR. Bukhari 4837, Muslim 2820).
Wallahu’alam bis shawab
Referensi : Muslim.or.id

Keutamaan Selalu Menjaga Wudhu

Keutamaan Selalu Menjaga Wudhu

ilustrasiSahabat muslim, Keutamaan Selalu Menjaga Wudhu adalah salah satu anjuran bagi kita umat islam agar kita selalu dalam keadaan suci. Ketika kita dalam keadaan suci maka secara tidak langsung kita juga bisa menjauhkan dari perbuatan maksiat. Bagaimana tidak ketika kita dalam keadaan suci mempunyai keinginan untuk berbuat maksiat maka kita selalu ingat bahwa saya dalam keadan wudhu, dan niat itu pun akan seketika lenyap dalam pikiran kita.
Jika seseorang terus menerus dalam keadaan suci atau berwudhu. Yaitu tatkala wudhu batal, kemudian kembali berwudhu lagi.
Keadaan seperti itu akan mudah bagi kita untuk melakukan ibadah. Kala ingin membaca Al Qur’an dan memegang mushaf, maka bisa langsung membaca. Kala ingin laksanakan shalat sunnah, maka dengan mudah pula bisa melakukannya. Inilah yang didapat dari orang yang selalu menjaga wudhu.
Keutamaan orang yang selalu menjaga wudhu disebutkan dalam hadits berikut tentang Bilal yang disebutkan bahwa suara sandal beliau sudah terdengar di surga.
Dari Abu Buraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam di pagi hari memanggil Bilal lalu berkata,
“Wahai Bilal, kenapa engkau mendahuluiku masuk surga? Aku tidaklah masuk surga sama sekali melainkan aku mendengar suara sendalmu di hadapanku. Aku memasuki surga di malam hari dan aku dengar suara sendalmu di hadapanku.”
Bilal menjawab,
“ Wahai Rasulullah, aku biasa tidak meninggalkan shalat dua raka’at sedikit pun. Setiap kali aku berhadats, aku lantas berwudhu dan aku membebani diriku dengan shalat dua raka’at setelah itu.” (HR. Tirmidzi no. 3689 dan Ahmad 5: 354. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits tersebut hasan )
Syaikh Abu Malik dalam Fiqhus Sunnah lin Nisaa’ (hal. 49) menyatakan bahwa disunnahkan berwudhu setiap kali wudhu tersebut batal karena adanya hadats.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Disunnahkan menjaga wudhu atau diri dalam keadaan suci. Termasuk juga kala tidur dalam keadaan suci.” (Kitab Matan Al Idhoh , hal. 20).
Dari penjelasan diatas hanyalah salah satu dari Keutamaan Selalu Menjaga Wudhu, masih banyak lgi keutamaan bahkan Keuntungan bagi kita ketika kita dalam keadaan yang suci yaitu dalam keadaan berwudhu.
Wallahu’ lam.
diambil dari beberapa sumber

Senin, 08 Agustus 2016

PERAN DAN FUNGSI TAKMIR MASJID



PERAN DAN FUNGSI TAKMIR MASJID

Pendahuluan
Takmir Masjid adalah sekumpulan orang yang mempunyai kewajiban memakmurkan masjid. Takmir masjid sebenarnya telah bermakna kepengurusan masjid, namun tidak salah bila kita menyebut “Pengurus Takmir Masjid”. Firman Allah : “Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat dan  tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Karena itu semoga mereka termasuk orang-orang yang mendapat hidayah“. (QS. At-Taubah : 18). Berikut kami sampaikan beberapa hal yang dapat dijadikan bahan renungan para Takmir di dalam melaksanakan tugas ketakmirannya.
Masjid Sebagai Tempat Ibadah
Sebagai tempat ibadah umat Islam, bangunan masjid haruslah memungkinkan seorang melaksanakan ibadah (mahdhoh) dengan tenang. Sarana yang menunjang kearah itu haruslah diwujudkan sedemikian rupa. Memang pada awalnya sebuah masjid hanyalah suatu tempat yang dinyatakan sebagai tempat ibadah. Dengan itu maka berfungsilah masjid dengan segala konsekuensinya.
Sebagai tempat ibadah, maka masjid harus memberi nuansa kekhusukan disamping kesucian dan kebersihan lingkungan merupakan sesuatu yang mutlak harus diupayakan.
Masjid Sebagai Pusat Pembinaan Umat
Mengacu pada prinsip ajaran Islam tentang keterpaduan anatara ibadah mahdhoh dengan ibadah sosial (ijtimaiyah), maka masjid haruslah memancarkan cahaya yang menyinari lingkungan dan jamaahnya. Dari aktifitas spiritual yang dilakukan di dalam masjid, para jamaah haruslah mampu membawa substansi ajaran (Islam) keluar melewati batas dinding  masjid dan memasuki wilayah-wilayah kemasyarakatan.
Oleh karena itu setiap kegiatan yang dilakukan di dalam masjid haruslah berimplikasi kemanfaatan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan setiap persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, kalau mungkin dapat diselesaikan berdasarkan nilai-nilai yang berkembang di dalam masjid.
Organisasi Takmir Masjid
Upaya memakmurkan masjid dapat dilakukan dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang. Organisasi Takmir masjid dapat dibuat untuk usaha-usaha tersebut di atas. Struktur organisasinya paling tidak terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara serta Bagian-bagian yang diperlukan. Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi : Idaroh atau kegiatan administrasi, Imaroh atau kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada pembinaan jamaah serta Ri’ayah, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan pisik (sarana dan prasarana).
Menuju Kebersihan Iman
(Pengurus) Takmir Masjid sebagai penanggung jawab kegiatan masjid harus berusaha mengarahkan jamaahnya mencapai kebersihan iman (tauhid), yakni kemantapan akidah jamaah di dalam meyakini Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai Nabinya.  Sebagaimana dijelaskan didalam sebuah ayat bahwa “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-aduk keimanannya dengan kemusyrikan mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan ketenteraman dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”
Menjaga Kerukunan dan Memperbanyak Amal Sholeh
Takmir masjid disamping mengarahkan jamaahnya agar memiliki akidah yang kuat, juga berkwajiban mendorong jamaahnya agar senantiasa menjaga kerukunan diantara warga masyarakat. Prinsip mengakui adanya perbedaan faham dan menghargai pemikiran dan pemahaman antara yang satu dengan yang lain haruslah tetap dijunjung tinggi. Suasana kerukunan haruslah diciptakan sedemikian rupa sehingga masalah-masalah perbedaan faham tidak harus menjadi hambatan di dalam kehidupan bersama.
Meskipun kadang tidak dapat memuaskan bagi semua pihak, namun upaya yang baik dilakukan adalah menjadikan dialog atau musyawarah sebagai jalan untuk mengambil keputusan-keputusan. Iklim keterbukaan dan saling mengerti diantara jamaah akan membuahkan kemajuan-kemajuan di tengah-tengah masyarakat.
Hidup rukun adalah salah satu bentuk amal sholeh, disamping masih sangat banyak lagi amal-amal kebaikan yang dapat dilakukan. Jangan lupa lakukan kreatifitas amal kebaikan itu dengan mendasarkan keimanan kepada Allah dan tidak mengharapkan yang lain kecuali ridlo-Nya semata. Pada sisi ini banyak sekali kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan. Allah berfirman ; “Berlomba-lombalah kamu dalam hal kebaikan !”
Fungsi dan Peran Takmir
Keberadaan Takmir masjid akan sangat menentukan di dalam membawa jamaahnya kepada kehidupan yang lebih baik. Berfungsinya masjid sebagai tempat ibadah dan pusat pembinaan ummat sangat ditentukan oleh kreatifitas dan keihlasan takmir masjid dalam memenuhi amanahnya. Siapapun yang telah dipercaya memegang amanah ini haruslah berani mempertanggung-jawabkan seluruh hasil karyanya, baik dihadapan Allah maupun dihadapan jamaahnya sendiri.
Kemajuan masyarakat karena keimannnya yang mantap disertai amal sholeh (karya positif yang dihasilkan) akan banyak dipengaruhi oleh kreatifitas takmir masjid dalam mengelola kegiatan sebagaimana telah tersebut di atas. Oleh karena itu tanggung jawab takmir masjid di sini dapat dikatakan amat berat namun sangatlah mulia. Takmir masjid harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, menjauhi sifat-sifat takabur dan riya’. Tidak pernah membanggakan diri dan besar kepala karena aktifitas dan kegiatannya yang semarak. Takmir masjid harus rela berkorban demi kemaslahatan jamaahnya. Apabila takmir masjid dapat berhasil di dalam pengelolaan masjidnya, maka insya Allah, balasan Allah akan segera dijumpai..
Penutup
Demikian, beberapa pokok pikiran singkat saya tentang peran dan fungsi takmir masjid. Harapan saya semoga uraian ini dapat dikembangkan lebih lanjut. Banyak salah dan khilaf saya mohon koreksi dan maaf beribu maaf. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua, dan berkenan meridloi segala amal usaha kita. Aamiin.


Sumber : Hamba Allah